Selasa, 28 Juni 2016

Menata Hati

(lanjutan dari sini: Ketika Saya Harus Menerima

Sebagai seorang wanita, istri, yang normal, saya masih berusaha mempertahankan keutuhan rumah tangga saya. Saya masih mencoba berbicara pada ayahnya anak-anak, berdiskusi, mengajaknya berpikir ulang mengenai keinginannya. Bahwa masih banyak mimpi2 kami yang belumlah terwujud, yang belum kami hamparkan dalam bait-bait rencana kehidupan, bahkan. Namun seperti kuda yang memakai kaca mata, ia bergeming,  menatap lurus ke depan: rencana poligaminya.

Feeling lagi-lagi bermain, dasar wanita..
ya, perasaan saya tidak mengizinkan ini terjadi begitu saja. Saya rasa, jikalau memang fase kehidupan seperti ini yang harus saya jalani, saya tidak ingin main-main. Saya ingin poligami yang benar, sesuai syariat: mengandung keberkahan. Meski saat itu jujur saja saya masih sangat tidak ingin ini terjadi.
Bersembunyi dalam alasan klise, 'wanita mana sih yang mau dimadu?'

Saya masih saja terus menangis. Sejuta pertanyaan berputar-putar di dalam pikiran saya: apa kurangnya saya, kenapa saya yang harus mendapat ujian ini, apa salah saya, kenapa harus keluarga kami, kenapa harus suami saya yang meminta poligami, apa yang tidak saya miliki, dan apa-apa lainnya terus saja terlontar seperti tak ada habisnya. Dan itu menguras emosi dan tenaga saya.

Selama beberapa hari saya mencoba untuk mengajaknya berbicara hati ke hati. Memohon padanya untuk tidak melanjutkan niatan poligaminya. namun kembali ia bergeming. ia berkata bahwa niat poligaminya mulia, menolong seorang janda beranak dua yang anak-anaknya ditelantarkan oleh ayah kandungnya, yang anaknya ada yang salah satunya berkebutuhan khusus, yang dia ingin sekali dipandang mulia di hadapan Allah.

semua seperti ada jawabannya:
menolong janda yang bagaimana? toh janda ini kaya raya, pengusaha apotik, bidan di salah satu puskesmas di sumedang, punya praktek bidan sendiri, dosen pula, ditolong di bagian mana? kalaupun memang ingin menolongnya mencarikan imam, kenapa tidak mencarikan pria lain yang available, yang single. memang setidaklaku itukah si janda ini sampai harus menjadikan suami orang sebagai imamnya?
anak-anaknya ditelantarkan oleh ayah kandungnya? masa iya? sevalid apa informasi itu? sudah ditelusuri sampai sejauh apa hingga berani mengambil kesimpulan seperti ini? sudah pernah bertemu ayahnya langsung dan berdiskusi mengapa ia 'menelantarkan' anak-anaknya? jangan-jangan ini hanya katanya saja. as we know, orang berpisah memang memiliki kisah yang akan berbeda bila diceritakan: versi mantan istri dan mantan suami. maka kenapa tidak validasi dulu?
mengasuh anak kebutuhan khusus agar dinilai mulia di mata Allah? tidak ada yang salah sama sekali, niat mulia. namun mengapa tidak dimulai dari anak sendiri dulu? memberikan waktu lebih banyak untuk anak-anak alih-alih sibuk organisasi sampai weekend pun sering sekali tak ada di rumah? sampai pulang pun selalu larut malam? sampai anak tidak ada yang mengajak muroja'ah hafalan-hafalan al qur'annya? bagaimanalah bisa dengan baik dan amanah mengasuh anak orang lain sementara anak sendiri masih sering meminta haknya, dan ia sendiri meminta bantuan saya untuk ikut mengasuh anak spesial itu dengan alasan saya jauhlebih mengerti tentang parenting dibandingkan dirinya dan si calon istrinya nanti. lho, maksudnya saya harus apa? menjadi baby sitternya atau gimana? maaf saya sangat susah berbaik sangka saat kaliamat terakhir itu terucap dari mulutnya.

semua masih berputar tak karuan. membuat saya dan juga ia lelah, sangat lelah. anak-anak terlunta-lunta. ia selalu meminta waktu saya untuk berdiskusi empat mata dengannya. sementara anak-anak dia titipkan pada ibu dan bapak saya.
kami berkeliling ke ustadz dan ustadzah serta orang-orang yang mengerti dan menjalani poligami. banyak seklai pemikiran saat itu.
saya sendiri tak kuat saat itu hingga sempat ingin mengakhiri hidup dengan meminum banyak sekali obat, hingga keracunan obat-obatan, semoga Allah mengampuni saya. sungguh, itu adalah kejahiliyahan saya, astaghfirullah...

sang imam tetap bergeming. mengatakan saya bukan makmum yang taat jika saya tak mengizinkannya berpoligami.
saya meradang. ya, lelaki adalah pemimpin dalam rumah tangga, namun bukankah diskusi juga diperbolehkan?
namun pendapatnya, jika mengalami jalan buntu dari diskusi tersebut, maka imam memiliki hak prerogatif untuk memutuskan meski sepihak.
saya tahu saya masih punya hak, hak sebagai seorang wanita dalam rumah tangga: khuluk.

(selanjutnya Perjalanan Mencari Arti Poligami)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar